PATER MARKUS SOLO KEWUTA, SVD: PUTRA LEWOURAN, KE VATIKAN UNTUK DUNIA
Umat Katholik Stasi Watobuku, Paroki Kristis Raja Semesta Alam Watobuku boleh mengalami sukacita iman yang luar biasa setelah menghadiri Upacara Ekaristi Kudus pada Hari Senin (19/09/2022). Tidak seperti biasa, sebab Misa Kudus tersebut dipimpin langsung oleh Yang Mulia Pater Markus Solo Kewuta, SVD, seorang imam asal stasi Lewouran yang selama ini bertugas mendampingi Paus selaku Pemimpin Gereja Katholik sedunia di Roma, Italia menangani Desk Dialog Katolik-Islam di Asia dan Pasifik.
Bekerja di salah satu Negara
terkecil di Dunia, Vatikan, Padre Marco, demikian beliau disapa, telah bekerja
dalam dua generasi kepemimpinan Takhta Suci dari Paus Benediktus XVI hingga
kini Paus Fransiskus.
Kehadiran beliau di stasi
Watobuku sendiri adalah bagian dari rangkaian acara syukuran Perak Imamat,
ulang tahun panggilannya yang ke-25. Upacara syukuran imamat tersebut terjadi
pada hari Kamis (15/09/2022) di tempat kelahirannya, Stasi Lewouran, Desa Birawan,
Kecamatan Ile Bura. Suasana sangat meriah saat itu.
Namun demi menyempurnakan
syukuran tersebut, beliau ingin membagikannya dengan umat di Paroki yang lain.
Tercatat dalam lawatannya ke kampung halamannya dalam waktu yang singkat dan
kasip tersebut, sang Imam hanya memiliki waktu kurang lebih seminggu. Sehingga
waktu tersebut dimanfaatkannya dengan sangat baik untuk boleh berbagi suka cita
dengan saudara/saudarinya. Umat Stasi Watobuku layak berbangga, sebab Pater
Markus menjatuhkan pilihan pada stasi tersebut.
Rangkaian upacara tersebut
berjalan sangat meriah. Diawali dengan penyambutannya secara tradisi adat
setempat, dengan wede atau tarian perang, serta soka
nolon lusi lerang alias tarian
perdamaian dan dilanjutkan dengan sapaan adat/mantra, suguhan sirih pinang dan
suluh tembakau serta meneguk tuak sebagai wujud restu dan diterimanya sang tamu
di wilayah tersebut.
Ritus penyambutan ini dihadiri
oleh Pastor Paroki KRSA Watobuku beserta rekan pastor dan diakon, para Suster
dari Tarekat SMI, keluarga besar sang Yubilaris, tokoh masyarakat, tokoh adat
serta umat stasi setempat. Saat itu hadir pula umat dari stasi Tabana yang
merupakan stasi tetangga Watobuku sebagai bagian dari wilayah administrasi Desa
Waiula. Rombongan selanjutnya berarak menuju ke pendopo Pastoran KRSA Watobuku.
Upacara ekaristi Kudus
dilanjutkan pada pukul 17.15 Witeng yang dipimpin oleh Pater Markus dan Imam
Konselebran. Tampak umat memadati bangku Gereja KRSA Watobuku. Padre Marco,
demikian beliau biasa disapa di Tanah Misi, mengawali Misa dengan mengucapkan
syukur pada Tuhan dan terimaksih kepada semua umat di Paroki KRSA Watobuku
teristimewa umat di Stasi Watobuku yang melaksanakan penyambutan yang luar
biasa serta kehangatan umat diluar bayangnnya. Beliau lalu mengisahkan
sekelumit perjalanan imamatnya hingga 25 tahun dijalan panggilan dengan bernostalgia
di tanah Tabana dan Watobuku.
“Saya mengucapkan syukur pada
Tuhan dan terimakasih kepada semua umat di Paroki KRSA Watobuku teristimewa
umat di Stasi Watobuku yang melaksanakan penyambutan yang luar biasa serta
kehangatan umat diluar bayangn saya. Berada di Watobuku mengingatkan kembali
kenangan-kenangan lama. Saat diusia sekolah dasar, saya sering melewati kampung
ini bersama orang tua saya ketika kembali dari Tabana menuju ke kampung saat
akhir pekan setelah seminggu berladang”, kenangnya.
“Watobuku merupakan keluarga
dan rumah saya, dimana kebaikan dan kehangatan itu tidak pernah berubah hingga
kini saya merasakan sambutan yang luar biasa. Bersama saudara-saudari dari
Tabana, kami tidak saja mendapatkan tempat berladang, namun juga mendapatkan
manfaat dan nikmat air minum yang kalian punya. Sungguh Tuhan menyatakan
cintaNya lewat kaka ade sekalian, hingga saat ini kita boleh dipertemukan
kembali,”tutupnya diawal kata pembuka Misa Kudus ini.
Umat tampak memadati ruang
gereja yang luas tersebut dan antusias menghadiri misa ini dengan khidmat. Kembali
saat homili, Pater Markus ‘bernostalgia’ dan mengajak semua umat berimajinasi
akan kenangan masa lalu sambil merenungkan rencana dan kasih Tuhan yang sungguh
nyata dalam relasi persaudaraan tersebut. Semua umat tampak larut dalam
kenangan tersebut, bahkan umat dari generai 90-an hingga generasi TikTok yang
tidak pernah mengalami masa-masa di tahun itu. Dengan diksi dan narasi yang
sangat puitis, Pater Markus menyihir umat yang hadir saat itu. Kenangan
masa-masa sulit saat hidup di kampung yang penuh dengan keterbatasan ekonomi
mulai jenjang SD, SMP dan Seminari termasuk keterbatasan biaya pendidikan yang
hampir membunuh impian meniti jalan panggilannya, dikisahkannya secara garis
besar namun sangat menginspirasi.
Pada titik awal sebagai calon imam,
beliau mengisahkan ketika diterima sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat
Katholik Ledalero. Bersama seorang rekan mahasiswa, pada tahun 1992 keduanya
dikirim ke Eropa untuk tugas belajar. Hingga beliau ditahbiskan pada tanggal 3
Mei 1997 di Wina, Austria. Pengalaman awal dimana harus menyesuaikan dengan
bahasa, tradisi dan lingkungan serta iklim baru, bahkan urusan perut yang juga
berbanding 180° dengan kebiasaan di kampung membuatnya mengalami ‘gagap’ adaptasi.
Namun perlahan tetapi pasti, semua itu dapat dilaluinya dengan pasti. Riwayat
perjalanan panggilannya dalam homili tersebut membuat semua umat larut dalam
kisah tersebut, hingga tidak terasa setengah jam berlalu.
Melihat suasana bathin umat dan
antusiasme hadirin yang begitu bersemangat mendengarkan cerita yang sangat
menginspirasi tersebut, beliau menyampaikan untuk mengalokasikan waktu 30 menit
disaat acara pengumuman nanti agar berdialog dengan umat sebelum berkat
penutup. Kerinduan umat itu tiba. Diawali dengan penyerahan Medali kehormatan
dari Paus Fransiskus sebagai Simbol Keterikatan antara Gereja Luar dan Gereja
Universal, terkhusus Gereja Watobuku dan Gereja Vatikan beserta donasi lainnya yang
diterima oleh Pastor Paroki KRSA Watobuku. Pastor yang menjadi staf Penasehat
pada Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama ini juga memuji dan
mengagumi kemeriahan upacara lewat nyanyian liturgi yang dibawakan oleh paduan suara. Beliau juga
mengagumi petugas liturgi bertombak yang melaksanakan pengawalan, sehingga
dikomparasikan dengan Swiss Guard,
Pasukan Pengawal dan Penjaga Keamanan Vatikan dalam menjaga sesuatu yang suci.
Benar saja, ‘segmen dialog’
yang dipandu langung oleh Pastor Paroki KRSA Watobuku Pater Laurentius Useng
Soge,SVD dimanfaatkan oleh umat dengan bertanya dan berdialog. Suasana misa
sontak berubah layaknya ‘kuliah umum’. Semua pertanyaan yang disampaikan oleh
‘audiens’ dijawab dan dijelaskannya dalam bahasa yang diplomatis namun praktis
sehingga sangat mudah dipahami, Mulai dari permintaan berfoto bersama, tugas-tugasnya
sebagai pejabat Vatikan, Konflik Palestina-Israel hingga kasus Ferdy Sambo
menjadi pertanyaan ‘peserta studium
generale’ tuntas dijawabnya secara lugas nan cerdas. Sungguh beliau
menunjukan kelasnya sebagai tokoh yang menguasai benar persoalan gereja dan
dunia.
Terlampau semangatnya sesi
dialog ‘bebas’ dengan peserta yang kian antri bertanya, tanpa disadari
durasinya menjadi dua jam-an. Melihat waktu yang kian larut, ‘moderator’
akhirnya membatasi sesi ini. Sebagai pernyataan penutup beliau menyampaikan
terimakasih dan memohon doa dan dukungan umat sekalian agar perjalanan tugas
dan pelayanannya dilapangkan. Disaat bersamaan, pastor yang fasih berbahasa
Arab ini berpamitan dengan umat setempat karena akan kembali ke tempat tugasnya
pada Hari Rabu (21/09/2022) dengan sejumlah agenda, diataranya mewakili Paus
Fransisikus dalam Penganugerahan Gelar Kehormatan Doktor Honoris Causa (HC) dari
Universitas Negri Islam Yogyakarta kepada Paus Fransiskus, selanjutnya memenuhi
undangan dari Wakil Presiden Republik Indonesia Bapak KH. Ma’ruf Amin hingga kembali
menghadiri Pertemuan G20 di Bali pada bulan November 2022 yang akan datang.
Sesuai janjinya atas permintaan
umat, suasana semakin riuh usai perayaan ekaristi, sebab Pastor yang juga
memiliki hobi di bidang musik dan sport ini menjadi ‘obyek’ foto bersama. Umat tetap
merasa risih dan canggung untuk menyapa dan bersalaman dengannya, namun diluar dugaan
beliau dengan ramah dan santun melayani keinginan para umat tersebut.
Persahabatan tanpa jarak, layaknya keluarga yang sudah lama berkenalan.
Kini, kenangan itu telah terpatri dalam suara dan gambar yang akan selalu mengingatkan perjumpaan itu. Gereja Katolik KRSA Watobuku, telah menjadi saksi sebuah peristiwa sakramental, dimana kami dapat melihat sosok Para Sri Paus terkhusus Paus Fransiskus dalam diri Padre Marco. Yang Mulia telah menginspirasi orang muda dan dunia, menjadi juru damai yang membangun dialog dan provokator perdamaian. Kini Putra sang Petani itu menjadi orang Indonesia pertama di Kuria Tahta Suci Vatikan, tidak lagi menjadi milik keluarga dan umat Stasi Lewo Uran saja, namun telah menjadi keluarga segenap bengsa, ras dan agama di dunia. Pro ecclesia et patria berkarya dari tahta suci, demi gereja dan bangsa. Dari Lewouran ke Vatikan untuk Dunia.
Komentar
Posting Komentar