EKSISTENSI MASYARAKAT ADAT DAN HAK-HAK DASARNYA DALAM TATARAN PRAKTIS HUKUM NASIONAL
EKSISTENSI MASYARAKAT ADAT DAN HAK-HAK DASARNYA DALAM
TATARAN PRAKTIS HUKUM NASIONAL*
Oleh: Antonius Dopi Liwu**
A. Pedahuluan
Masyarakat
Adat1 (Indigenous
People) sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara
turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik budaya, sosial dan wilayah sendiri, merupakan
komunitas atau kelompok yang dicirikan dengan wujud kesatuan sosial khasnya
masing-masing yang terus menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan
yang lengkap dengan tataran aturan tingkah lakunya.
Berbicara
tentang masyarakat adat (disingkat: MA) sama sekali tidak sebatas pada masalah
etnis ataupun simbol-simbol etnis tersebut, seperti tari-tarian maupun karya
seni mereka, tetapi lebih mendalam dari itu adalah masalah ’Kedaulatan mereka
dalam menjalankan kehidupannya’, dimana mereka juga mempunyai hak, yaitu
Hak-hak Masyarakat Adat/ Tradisional (indigenous
Rights).
Namun
dalam kenyataannya, baik pada tingkat nasional, bahkan pada skala
internasional, kita dapat menyaksikan pemandangan yang demikian ironis
berkenaan dengan eksistensi sosial budaya masyarakat adat yang termarjinalkan
(dimarjinalkan) oleh konstruksi tatanan ekonomi, politik modern yang cendrung
kapitalis, hegemoni dan eksploitatif sehingga mengabaikan hak-hak dasar
kelompok MA yang merupakan salah satu HAM yang (paling) hakiki.
Keadaan
ini terpotret jelas dalam Sidang Tahunan PBB di New York tahun 1992 yang
kemudian ditetapkan menjadi tahun yang sangat bersejarah bagi MA manapun di
dunia ini karena di sinilah awal terbukanya mata dan pengakuan dunia akan
eksistensi masyarakat MA dan hak-haknya yang telah diinjak-injak dan
dimiskinkan oleh tatanan politik, ekonomi bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Kesadaran inilah yang kemudian melahirkan sebuah pengakuan, pembelaan sekaligus
definisi mengenai MA oleh PBB, dimana disebutkan bahwa MA adalah: ”Orang-orang yang menurut sejarah, secara
turun-temurun telah mendiami daerah tertentu. Di kawasan itulah mereka
mempraktekkan adat istiadat, kepercayaan, bahasa dan pola hubungan sosial dan
ekonomi. Oleh sebab itu wajar, tatkala kawasan tempat mereka berurat akar turun
temurun mulai terusik, mereka bangakit menuntut hak mereka.2
B. Negara Hukum, Demokrasi dan Masyarakat Adat
Menurut
Stahl suatu negara hukum haruslah memenuhi empat unsur penting, yang diantaranya
adalah adanya jaminan atas hak-hak dasar.3
Selanjutnya menurut A.V. Dicey, di dalam suatu negara hukum harus mengandung
tiga unsur penting, yaitu sepremacy of
law, equality before the law, dan human
right.4 Jadi jelaslah, bahwa untuk disebut
sebagai Negara Hukum harus ada perlindungan (jaminan) atas HAM. Namun perlu
diketahui pula berkenaan dengan Negara Hukum, tidak semua Negara hukum adalah
demokratis, tetapi sebaliknya Negara yang menyatakan diri demokratis haruslah
Negara hukum.
Demokrasi
yang antara lain terwujud dalam bentuk HAM atau hak individu haruslah dijunjung
tinggi, termasuk juga identitas budaya Masyarakat Hukum Adat harus dilindungi
oleh hukum masyarakat dan pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan hak-hak
kolektif mereka untuk menentukan nasib sendiri (self determinatioan). Dengan demikian maka, hak budaya MA manapun
dan dalam negara manapun harus dijamin keberadaan dan kehidupannya oleh sistem
nasional dengan mengacu pada ketentuan hukum yang dibuatnnya. Dalam kehidupan
demokratis yang digolongkan sebagai sakral/ sokoguru demokrasi, bukan hanya
individu tetapi juga masyarakat (yaitu Negara yang diwakili oleh pemerintah)
dan komuniti atau masyarakat setempat yang merupakan kumpulan-kumpulan dari
individu yang hidup secara bersamam dengan berpedoman pada kebudayaan yang
dimiliki bersama.5
Penegasan
ini merupakan suatu jaminan bahwa, MA merupakan komunitas dalam suatu negara
yang mempunyai hak-hak istimewa yang tidak boleh diabaikan sehingga pelanggaran
dalam bentuk apapun terhadap kelompok ini merupakan suatu bentuk pelanggaran
terhadap HAM (hak konstitusional) yang telah dijamin oleh konstitusi.
C. Eksistensi Masyarakat Adat dan Hak-hak Dasarnya Dalam
Politik Hukum Nasional
1.
Diskursus Kebijakan: Penghancuran Sistem Masyarakat Adat
Jauh sebelum pengaturan dalam hukum nasional tentang MA
dan HAM, upaya dan penegakkan hak MA sudah diakui dan diterapkan dalam
Deklarasi universal tahun 1948 tentang HAM.6
Sebagai sebuah negara (yang menyatakan dirinya) demokratis, pengakuan terhadap
MA selaku kelompok masyarakat yang khas dengan ragam budayanya merupakan
sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM menegaskan bahwa, ” Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak
atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman”. Dari
substansinya hak ini bersumber dari Pasal 18 UUD 1945 dengan salah satu ide
dasarnya adalah mengakui hak-hak daerah yang bersifat istimewa yang sesungguhnya
adalah hak-hak yang bersumber dari kesatuan hukum MA atau masyarakat lokal yang
bersifat asli.
Namun ironisnya, justifikasi pemerintah dalah tataran
praktis guna memberikan pengakuan, penghormatan dan perlindungan bagi MA
beserta hak-hak dasarnya masih jauh dari yang diharapkan. Sebab pengakuan
pemerintah dan kelompok dominan terhadap MA hanya sebatas pada, misalnya
mengumpulkan simbol-simbol MA dari berbagai penjuru Indonesia, tanpa mendalami
makna dan hubugnan timbal balik simbol-simbol tersebut dengan alam sekitarnya.
Atau cenderung ’memuseum’kan MA sebagai sekelompok manusia unik atau memandang
mereka sebagai orang-orang terbelakang dan memaksa mereka untuk hidup dengan
cara-cara modern. Simbol-simbol adat (seperti tari-tarian dan ukir-ukiran) tetap
dilestarikan, sementara organisasi MA dibiarkan merana. Jika melihat kebijakan,
fenomena, aturan formal dan kenyataan yang ada, maka penghancuran sistem MA
secara sistematis dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek hukum, Aspek Akses ke SDA, Aspek Budaya, Aspek Hak
Cipta, dan Aspek Kelembagaan. Namun berikut ini penulis hanya menyoroti dari
dua aspek, yaitu Aspek Hukum dan Aspek Akses ke SDA.
Dari Aspek Hukum.
Dalam Pasal 28I UUD 1945, Pasal 5 UUPA Nomor Tahun 1960,7
Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Pasal 5 dan Pasal 67 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan dasar
hukum (legal reason) pengakuan
eksistensi MA. Bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban.
Namun pengakuan yang termuat dalam UU di atas tidak
menetes dalam praktik sehari-hari. Kondisi keseharian ini juga ditunjang dengan
peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung semangat yang tertuang dalam
peraturan di atas. Di samping itu UU terbaru, yaitu UU Nomor 14, 15, tahun 2001
dan UU Nomor 19 tahun 2002 tentang HaKI8
alpa memuat tentang keberadaan MA. Hal ini diperparah dengan penafsiran ganda
terhadap sebuah peraturan perundang-undangan sehingga membiaskan makna sebenarnya
dari peraturan tersebut.
Dari Aspek Akses
ke SDA. Setelah bertahun-tahun mendiami suatu wilayah geografi tertentu,
maka hubungan MA ke SDA di sekitarnya secara alami terbentuk dan akses ke
sember-sumber itu lebih dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidupnya,
sehingga sewajarnya akses mereka ke SDA tidak boleh diputuskan (baca:
dihancurkan), sebab itu sama dengan memutuskan penghidupan masyarakat tersebut.
Kekisruhan pertama muncul dari pengakuan Pasal 2 UU Nomor 5 tahun 1967 tentang
Kehutanan dimana pengakuan atas kepemilikan tanah hanya terbatas pada ’Hutan
Milik’ dan ’Hutan Negara’.9
Sementara itu Hak Milik harus dibuktikan kepemilikannya lewat proses
sertifikasi secara tertulis, sehingga bukti ’kepemilikan’ faktual atau
kesaksian lisan tidak diakui, sehingga dengan mudahnya hutan-hutan adat yang
dikuasai MA selama bertahun-tahun jatuh dalam kategori hutan negara. Jadi
negara menguasai lahan-lahan tersebut tanpa memberi ganti rugi kepada MA
tersebut.
2.
Masyarakat Adat Dalam Siklus Pembangunan/ Developmentalisme10
Bhineka Tunggal Ika yang menggambarkan pengakuan akan
eksistensi MA sebagaimana yang dipertegas dalam UUD 194511 hanyalah jargon politik semata, sebab
penempatan Negara terhadap MA masih dan tetap selalu sarat dengan berbagai
diskriminasi dan kekerasan. Realitas pembangunan bangsa selama ini menunjukan secara
tegas bagaimana rakyat (MA) dan SDA-nya dicaplok dan dieksploitasi lebih untuk
kepentingan pemerintah pusat, sementara MA hanya dijadikan penonton bahkan
tumbal serta ‘pengemis’ atas hak miliknya.
Diskursus tersebut berlenjut. Pemerintah Indonesia pada
satu konteks tertentu menyatakan bahwa tidak ada indigenous people di Indonesia, karena semua orang Indonesia adalah
asli. Sementara itu dalam konteks lain, MA dilihat sebagai kelompok masyarakat
yang statis, tradisional serta berbagai istilah lainnya (diukur dari cara
berpakaian, akses terhadap pendidikan/ teknologi/ informasi, nilai dan aturan
adat yang feodal, patriakat, nomaden, agraris dll). Padahal sebagai manusia
yang memiliki peradaban serta hidup dan bergerak dalam konteks ruang dan waktu,
MA seharusnya dipandang/ ditempatkan sebagai kelompok manusia yang dinamis.
Cara pandang dan penempatan negara terhadap MA merupakan
konsekuensi dari konsep dan paradigma pembangunan ekonomi yang dianut negara
yang sangat mengagung-agungkan developmentalisme
yang dalam bangun ruangnya sangat kapitalis, eksploitatif dan represif, dimana
modal/ investasi sebagai ujung tombak yang berarti juga kemudahan-kemudahan
bagi pemilik modal. Lebih dari itu, tentunya peran negara justru telah menjadi
penindas dan penghisap (baca: memiskinkan) atas rakyatnya.
D. Kesimpulan
Dari
uraian di atas, maka persoalan krusial yang dihadapi oleh MA adalah, berubahnya
negara menjadi ’momok’ bagi rakyatnya sendiri dengan adanya diskursus kebijakan
pemerintah, dimana pengakuan pemerintah terhadap keberadaan MA hanya sebatas
pada, misalnya hasil karya MA, sedangkan komunitas MA sebagai sebuah organisasi
dibiarkan merana. Kondisi ini membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa telah terjadi
penindasan, dimana secara sistematis negara telah menjadi aktor utama dalam
menghancurkan keberadaan MA. Karenanya kepentingan rakyat yang mayoritas,
termasuk MA beserta hak-hak dasarnya harus menjadi dasar perumusan kebijkaan
politik Hukum Nasional.
* Makalah disampaikan pada Pelatihan Mahasiswa Kader
Bangsa Wilayah C, yang diselenggarakan oleh Depertemen Pendidikan Nasional,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di Hotel Dhyana Pura Beach, Jl. Camplung
Tanduk Seminyak, Kuta-Bali, 11-14 Desember 2006
** Delegasi
Universitas Katholik Widya Mandira Kupang
1 Istilah
Masyarakat Adat sengaja dipilih karena bersifat netral dan tidak memberikan
konotasi negatip dan tidak tegas dibanding istilah-istilah lain, seperti:
“Masyarakat Terasing,” dan “Masyarakat Tradisional” yang akan dipertentangkan
dengan “Masyarakat Terbuka/ Terjangkau dengan Masyarakat Modern”. Istilah MA
juga menghindari Konotasi negatip dan penggunaan istilah ‘terasing’ dan
‘tradisional’ yang seringkali dikaitkan dengan keterbelakangan, kebodohan dan
primitive, bahkan sering dianggap sebagai perusak dan perambah hutan dan
rusaknya lahan pertambangan karena aktivitas
penambang tradisional.
2 Hamid Awaludin, Mereka Yang Kian Terpojok, Kompas, 18
Juni 1993
3 Abu Daud Busroh
dan Abubakar Busroh, 1983: 112
4 Ibid, 112-113
5 Parsudi
Suparlan: 1991
6 Lihat Pasal 2
ayat (1) Deklarasi Universal tahun 1948 tentang HAM yang menegaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas semua
hak-hak dan kebebasannya…, asal-usul kebangsaan atau kemasarakatan….”
Selanjutnya pengakuan terhadap MA ini ditetapkan lagi dalam “Deklarasi Tentang
Kewajiban-kewajiban Dasar Bagi Masyarakat dan Pemerintah di Negara ASEAN,”
dimana dalam Pasal 18 ayat (1) tentang Masyarakat
Suku Terasing, kembali menegaskan bahwa, “Adalah kewajiban Pemerintah untuk
mengakui Masyarakat Suku Terasing memiliki hak yang sama dengan penduduk
lainnya…., kewajiban pemerintah untuk menghargai hak-hak mereka dalam usaha
untuk memelihara identitas, tradisi, bahasa, warisan budaya, hokum adat mereka,
terutama dalam usaha melindingi hak-hak leluhur mereka…, serta menghargai
hak-hak mereka untuk menentukan sendiri sikapnya….”
7 Lihat PAsal 5
UUPA misalnya pengakuan bahwa, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah Hukum Adat.” Walaupun kemudian dipagari dengan ‘sepenjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional sosialisme Indonesia
unsure-unsur yang bersandar pada Hukum Agrasia”. Menurut penulis sendiri,
penerapan terhadap substansi peraturan tersebut berarti identik dengan
pengakuan yang bersifat limitatif, artinya bahwa pengakuan terhadap eksistensi
MA itu tidak bersifat mutlak tetapi bersifat relative.
8 Yang termasuk dalam UU tentang HaKI meliputi UU Nomor 14
tahun 2001 tentang Paten, UU nomor 15
tahun 2001 tentang Merek dan UU Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
9 pengakuan atas Hutan Negara ini secara langsung memberi
legitimasi untuk menggusur hak penguasaan MA atas hutan, sebab Hutan Marga,
Hutan Daerah atau sejenisnya dianggap termasuk sebagai hutan Negara (lihat juga
penjelasannya). Praktik penggusuran MA dari areal hutan ini diilhami oleh
praktik colonial lewat asas Domein
Verklaring, yaitu suatu asas yang menyatakan “setiap tanah yang tak dapat
dibuktikan kepemilikannnya adalah tanah Negara.” Selain itu konsep Hak
Menguasai Negara yang ada pada Negara dengan sendirinya memberi legitimasi
kepada Negara untuk menguasai semua cabang-cabang produksi yang sampai memasuki
ranah privat kehidupan MA.
10 Developmentalisme
merupakan keyakinan pemerintah ORBA bahkan pemerintah pasca ORBA yang juga
hingga kini masih setia dengan paradigma tersebut, dimana pertumbuhan ekonomi
nasional/ Negara sebagai indicator kesuksesan pembangunan dan trickle down effect sebagai konsep
pemerataannya. Namun sesungguhnya, sejarah pembangunan dengan konsep dan
paradigma Developmentalisme membuat
bangunan ekonomi kita tidak bertahan dari krisis ekonomi, tetapi rakyat (MA)
harus pula mewarisi hutang (luar negeri) yang teramat besar.
11 UUD 1945 sebagai
sumber hokum tertinggi Negara kita
mengakui adanya kemajemukan budaya, termasuk pula mengakui adanya sumber-sumber
hokum yang berlaku di tengah-tengah kehidupan masyarakat sehari-hari. Selain
itu Bab IV Pasal 18B ayat (2) yang lengkapnya berbunyi, “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan masyarakat hokum adapt beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republic Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Selanjutnya di dalam penjelasan
dikatakan bahwa, “ Dalam Teritoir Indonesia terdapat lebih kurang 250
Zelfhestrunde land-schappen dan Volksgemeen-schappen, seperti desa di Jawa dan
Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Kemudian dinyatakan pula bahwa, “Negara
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala
peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat asal-usul daerah
tersebut.
Komentar
Posting Komentar