Penegak-(an) Hukum vs Kleptokratis

Oleh: Antonius Dopi Liwu




Informasi internasional teranyar pada penghujung tahun 2007 yang lalu kembali menghentak dunia penegakan hukum di Indonesia seakan, bahkan  telah melengkapi catatan kelam perjalanan penegakan hukum dan perang negara melawan teror atas hak-hak publik. Adalah, lagi-lagi korupsi kembali menjadi sebuah aib yang sebenarnya menjadi common enemy (musuh bersama) yang harus diperangi. Informasi tersebut kembali menegaskan posisi Indonesia dalam daftar The Big Five negara terkorup di dunia. Posisi tersebut sebenarnya bukan lebih baik, karena beberapa waktu sebelumnya Indonesia masuk dalam the top ten negara terkorup yaitu jatuh pada nomor 6. Pada bulan sebelumya tepatnya Oktober, Indonesia bercokol diperingkat kelima negara terkorup yaitu dengan skor 2,3 lebih buruk dari skor 2006 yang 2,4, (ini menunjukan bahwa di ASEAN kita hanya lebih baik dari Kamboja dan Myanmar), maka temuan terakhir menempatkan instansi terkorup juga berada di Indonesia. Merupakan sebuah pukulan telak bagi lembaga penegak hukum kita, karena temuan tersebut mendera salah satu lembaga penegak hukum di Republik ini.

POLRI (lembaga yang dimaksud), sebagai lembaga paling Korup di Indonesia, dibanding 14 instansi lain yang diteliti Gallup International, lembaga riset yang meneliti atas nama Transparency International dengan skor: 4,2 (Kompas, 7 Desember 2007). Selanjutnya untuk temuan yang sama pada hari Kamis 6 Desember juga menyertakan pengadilan dan parlemen pada peringkat kedua dengan skor 4,1, sementara diperingkat ketiga adalah Parpol dengan skor 4,0. Demikian Indeks Barometer Korupsi Global 2007 seperti dilansir Transparency International di Jakarta, yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia(TII). Dari 60 Negara (salah satunya Indonesia) dengan 63.199 responden (Indonesia kebagian 1.010 responden) yang dimintai pendapatnya terhadap catatan negara dari lembaga politik yang diminta suap.

 

Negara Kleptokratis

            Salah satu agenda besar yang menjadi skala prioritas dalam menata kembali perekonomian negeri yang terpuruk akibat krisis yang mendera negara adalah fight against corruption (perang melawan korupsi). Korupsi telah melemahkan, bahkan menghancurkan perekonomian nasional, karena menggerus asset negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan. Pada aras ini, maka korupsi sebagai biang dari terciptanya pemiskinan yang terstruktur dan melahirkan sebuah bentuk kejahatan sistemik dengan memberikan dampak turunan adalah kemiskinan (struktural).

            Peringkat 5 negara terkorup yang ‘dilengkapi’ dengan ‘lolosnya’ dua lembaga serta organisasi politik sebagai lembaga terkorup, kembali menasbihkan negara ini sebagai negara kleptokratis (negara penjarah/ pencuri) yang tak bisa dielakan. Negara akhirnya tidak lebih dari sebuah organisasi penjarah yang tak tersentuh oleh hukum di negara hukum yang memiliki tujuan mulia mensejahterakan warga negaranya sebagaimana tersurat dalam pembukaan UUD 1945, yaitu,…memajukan kesejahteraan umum.

Memajukan kesejahteraan umum ini tentu saja merupakan kewajiban daripada negara lewat aparat penyelenggaranya sebagai pihak yang didaulat oleh rakyat untuk menakhodai biduk organisasi (baca: negara) ini. Di mana  hal ini sesuai dengan teori ’kontrak sosial’-nya John Locke, yaitu setelah terbentuknya negara maka, masih ada yang tersisa pada diri rakyat (individu) dan bersifat ’inheren’ yaitu hak asasi manusia yang dalam hal ini adalah hak sipil untuk dilindungi serta diberikan pelayanan yang minimum sekalipun.

Tetapi ternyata kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dihkianati dengan melakukan penggerusan terhadap budged negara yang seharusnya dipakai untuk mensejahterakan rakyat. Namun hasrat ‘mencuri’ ternyata lebih kuat ketimbang nurani mensejahterakan rakyat. Dan dampak dari perilaku koruptif pemimpin negeri ini tidak lain dan tak bukan adalah rakyat, terutama orang miskin. Sehingga jika kita mengingat kembali adagium yang diucapkan oleh Lord Acton, bahwa power tends to corrupt but absolute power, corrupt absolutely, maka sebenarnya pemerintah kita sedang menuju ke arah ini; kesewenang-wenangan; kepemerintahan yang telah ditulari virus kleptomania sehingga tega ‘menjarah’ warganya sendiri.

 

 

Penegak-(an) Hukum dan Korupsi

Penegakan hukum di negeri menempatkan pihak kepolisian sebagai garda terdepan, bersama dengan tiga pilar lain yang dikenal dengan catur wangsa, yaitu hakim, jaksa dan pengacara. Sedangkan dalam negara hukum menempatkan pengadilan sebagai pintu terakhir dari penegakan hukum. Namun apa lacur, ternyata lembaga penegak hukum sekalipun ternyata lebih korup dari lembaga yang lain.

            Sebenarnya peringkat Polri sebagai instansi terkorup bukan merupakan informasi anyar, tetapi lawas, karena menurut data-data empirik dalam tiga tahun terakhir dari 2005-2007, Polri masuk tiga besar lembaga terkorup di Indonesia yaitu, dengan skor 4,0 (2005), 4,2 (2006) dan 4,2 (2007). Sementara itu, untuk tiga tahun terakhir juga menempatkan parlemen dengan skor 4,0 (2005), 4,2 (2006) dan 4,1 (2007), sedangkan Parpol dengan skor 4,2 (2005), 4,1 (2006), dan 4,0 (2007). Sebuah angka yang cukup fantastis. Apakah ada yang salah dengan penegak-an hukum kita?

            Ibarat password untuk melakukan eksekusi awal pada sebuah komputer, ternyata kata-kata ‘berwibawa,  jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela’ hanya merupakan ‘syarat’ bagi calon anggota Polri, serta profesi di bidang yang lain, sehingga ketika sudah menjadi anggota dia tidak perlu berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik lagi. Apalagi setelah 551, idealisme serta primadona yang namanya berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela sudah ditinggalkan dan ‘tidak patut’ diterapkan. Hal ini dimungkinkan karena, pada pasal 21 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara menyatakan bahwa, untuk diangkat menjadi seorang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia seseorang harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.

            Maka ketika mendengar pemberitaan yang menempatkan Kepolisian sebagai pelaku utama dalam melakukan tindakan korupsi itu adalah lagu lama. Perilaku tersebut rupanya bukan hanya terjadi pada jajaran tingkat elit kepolisian saja, tetapi sudah menjadi tradisi the given dan ‘diwariskan’ sampai pada jajaran terbawah sekalipun, yang juga merupakan ‘profesi samping’an mereka. Bukan menjadi rahasia lagi, kalau perilaku koruptif dalam bentuk pungli, dan pelayanan biaya tinggi serta pemerasan sering menjadi bagian dalam pelayanan yang diberikan.

            Banyaknya kasus yang melibatkan institusi penegak keadilan, maka tidaklah mengherankan jika kita mengatakan moralitas penegak hukum sudah sampai pada titik nadir. Hal ini tergambar dari kualitas moral polisi, advokad, jaksa, hakim termasuk panitera dan staf di Pengadilan yang sangat memprihatinkan. Banyak di antara mereka yang tidak terlepas dari praktik-praktik calo, korupsi dan mafia peradilan. Ternyata mencari manusia-manusia yang bersih sangat sulit, tak semudah mencari ukuran sepatu untuk kaki. Mencari mutu produk elektronik dan busana jauh lebih gampang dari pada menyeleksi manusia untuk suatu jabatan. Lalu kita akhirnya pasrah dan berkata, memang sangat sulit mencari sosok yang berintegritas di negeri yang berpenduduk kurang lebih 250 juta jiwa ini. Oh Indonesiaku.

 

86 (baca: damai atau negosiasi)

            Istilah 86 (delapan enam) merupakan suatu istilah yang sudah menjadi rahasia umum dikalangan yang bekerja di dunia hukum, khususnya di lingkungan Polisi. Sekitar satu dekade terakhir ini, istilah tersebut semakin luas penggunaannya, karena bukan hanya digunakan oleh polisi sebagai bahasa intelijen, tetapi juga oleh profesi hukum lainnya yakni pengacara, hakim dan jaksa. Entah dari mana asal istilah tersebut, yang pasti maknanya itu, semua menerima secara aklamasi bahwa damai atau negosiasi, alias tahu sama tahu. Artinya semua perkara pidana itu bisa dimufakatkan hasilnya. Pasnya seperti ini, kalau sudah ada 86, maka ada dua kemingkinan, pertama perkara itu berjalan tetapi ringan hukumannya atau mungkin bisa diatur, yang akhirnya perkara bisa tidak jalan sama sekali alias berhenti. Dan hasilnya pasti sudah bisa ditebak. Orang yang terlibat dalam tindak pidana pasti bebas dari hukuman. Kok, bisa. Why not ?

            Ceritanya, bahwa suap telah menjadi rahasia umum para pengacara yang ingin sukses di hadapan klien atau populer di depan publik lantas menempuh berbagai cara agar bisa memenangan perkara. Padahal logikanya tidak seperti itu, melainkan perkara yang ditanganinya memang mempunyai posisi hukum yang baik, misalnya kekurangan barang bukti, ada kesalahan prosedur, ketidakcermatan pemeriksaan dll. Sehingga sebutan ’luar biasa’ harus diralat, dan masyarakat jangan terkecoh dengan tampilan profesi hukum seperti ini yang seolah pengacara hebat tetapi cuma bermodal 86. Dagang perkara dan mafia bukan hal yang sulit bagi mereka. Jika dalam penyelesaian sengketa, yang dicari bukanlah referensi bahasa hukum dan pasal yang tepat untuk menangkis serangan dari pihak lawan, tetapi mencari referensi hakim dan jaksa mana yang bisa diajak ber-86. Lalu semuanya akan beres dengan sendirinya.

            Pidato megawati semasa masih Presiden yang menyebutkan bahwa Kejaksaan Agung jangan dijadikan tempat dagang perkara ternyata benar adanya. Statement ini punya dasar yang kuat berkaitan dengan pemenangan perkara selama ini. Kejaksaan dinilai bagaikan ’singa ompong’, karena perkara mega korupsi para konglomerat hanya berhenti pada tarik ulur surat panggilan dan kalau mungkin sudah sampai di kejaksaan paling dengan alasan P20 dan lain sebagainya. Fenomena ini juga sedang melanda tingkah polah penegak hukum di wilayah hukum kita. Contoh kasus, seperti tidak terdengarnya lagi kasus proyek pengadaan Sarkes tahun 2003 yang masih ditangani pihak POLDA dengan melibatkan gubernur NTT sebagai tersangka, sedangkan Pimpro sudah divonis penjara sejak tahun 2005. Sementara itu pihak kepolisian juga telah meng-SP3-kan satu kasus dugaan korupsi, yakni ”Kasus dugaan korupsi dana bantuan operasional DPRD Kota Kupang TA 2003-2004”. Serta masih banyak lagi kasus korupsi yang tidak jelas penyelesaiannya makin mengundang kecurigaan publik. Bahwa ’mungkin’ sudah terjadi 86.

            Di Jawa Tengah misalnya, perkara yang melibatkan mantan gubernur Suwardi justru tidak diteruskan karena telah diterbitkan SP3. Sementara baru-baru ini bandar narkoba Semarang malah raib bak ditelan bumi saat vonis akan dibacakan. Dan ironisnya semua itu terjadi di depan polisi, jaksa,  hakim dan pengacara. Masih banyak kasus pidana lain yang terjadi diskriminasi dalam proses penanganannya terutama pada orang miskin yang tidak jago ber-86.

 

Skeptisme meluas

            Berlangsungnya praktik korupsi dengan tingkat resonansi yang tinggi serta luasnya dampak yang dirasakan masyarakat, melahirkan memburuknya tingkat persepsi korupsi serta rusaknya citra dan kredibilitas pemerintah di mata rakyatnya sendiri. Janji-janji upaya pemberantasan korupsi yang menjadi agenda kampanye para kandidat pemimpin negeri ini ternyata cuma jargon politik belaka. Kondisi ini mengakibatkan meluasnya skeptisme masyarakat, yang berdampak pada hilangnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Rasa hormat terhadap hukum dan aparatnya juga memudar.

            Skeptisme publik terhadap hukum terlihat dari banyaknya ungkapan-ungkapan sinis yang ditujukan terhadap lembaga penegak hukum, seperti: KUHP singkatan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang dipelesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara. Hal ini terjadi atas suatu perkara yang sedang ditangani oleh polisi atau jaksa yang terkesan mandek atau berakhir secara summir, lantas orang katakan KUHP. Sementara jika kasus yang putusannya miring, orang akan pelesetkan, HAKIM yang artinya: Hubungi Aku Kalau Ingin Menang. Dan jika sekitar tangal dua puluhan Polisi melakukan penilangan terhadap sopir atau pengendara sepeda  motor, lalu anak-anak SMU melontarkan sindiran dengan kata-kata sinis,: prit...jing nggo atau tanggal dua, sambil menggeber sepeda motornya.

            Berbagai ungkapan sinis tersebut merupakan sekian banyak dari skeptisme yang dilontarkan kepada para penegak hukum kita. Suardi Tasrif, SH (almarhum) Ketua DPP PERADIN pada kongres tahun 1977 di Yogyakarta mengatakan:...waktu kuliah kita diajar Hukum Dagang, tetapi setelah bekerja kita dikenal Dagang Hukum.

Dengan maraknya transaksi hukum, maka Purwoto, SH sewaktu menjabat sebagai Ketua MA mengatakan: ”...bahwa hakim-hakim nakal tidak diberi ampun.” Tetapi apa yang terjadi, upaya untuk mengadili hakim-hakim nakal yang diupayakan hingga dibentuknya Komisi Yudisial, yang bertugas mengawasi perilaku para hakim ’nakal’, ternyata mandul, sebab tidak berdaya mengawasi anak buahnya. Malah menjadi boomerang dan menghantam frontman-nya KY sendiri, Irawady Joenoes, dimana dia tertangkap basah menerima uang haram Rp. 600 juta dan 30.000 dollar AS dari rekanan KY. Lalu apakah ada yang salah dengan perekrutan para penegak hukum kita yang justru direkrut untuk mengobati penyakit hukum?

Meluasnya skeptisme publik terhadap penegakan hukum dan moral aparat penegak hukum yang bobrok tampak juga dari ungkapan seorang pengamat hukum di Amerika, bahwa,”...i don’t become a judge or a lawyer, because i know the law”. Ungkapan tersebut di atas mengisyaratkan seakan-akan bahwa potensi pelanggaran terhadap aturan hukum lebih banyak dilakukan oleh para penegak hukum, tak terkecuali juga kepolisian. Dengan demikian upaya penegakan hukum dan target pemberantasan korupsi hanya menjadi utopia, karena kita ’tidak bisa membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor’.

 

Figur yang Berintegritas

Problem di atas lebih mengarah kepada moral aparat sebagai penegak hukum. Sebaik apapun hukum dan peraturan, tetapi jika dilaksanakan oleh penegak hukum yang bermoral kacangan maka tidak akan efektif. Seorang uskup dari Amerika pernah berujar, ”Berikan aku hakim yang jujur, walau dengan hukum yang buruk sekalipun, keadilan bisa tercapai.”

Namun yang menjadi persoalan, bagaimana menerapkan pemerintahan yang berdasarkan hukum demi penghormatan terhadap kepentingan publik dan bukan berdasarkan orang-orang sementara, yang berkuasa tak lain, adalah manusia juga? Karena manusia bukanlah malaikat, sebab di dalam dirinya sudah ada terkandung gen jahat (demikian teori kriminologi lama).

Dalam teori kriminologi (lama) juga, Victor Lombroso mengatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan lantaran dipicu oleh tiga hal, pertama karena bakat sejak lahir, kedua karena pengaruh lingkungan dan ketiga karena tuntutan perut. Tetapi ada teori ke-4, Paidjo mengatakan karena pertimbangan untung rugi. Hal ini dipicu juga oleh pasal 378 KUHP tentang penipuan. Menipu Rp. 4 juta ancaman hukumannya 4 tahun, menipu 40 M ancaman hukumannnya juga empat tahun. Dari sinilah muncul kejahatan baru, seperti bisnis kriminal, yaitu kriminal yang beraspek bisnis atau bisnis yang beraspek kriminal.

Benjamin Nathan Cardoso seperti dikutip oleh Arthur S. Miller dan Ronald F. Howell, mengungkapkan, ”Seorang hakim harus pernah mempertimbangkan konsepsi keberadaan Tuhan mengenai fungsinya”. Jika tidak berlebihan dapat dikatakan bahwa hakim adalah Tuhan yang terindrai, dimana pertanggungjawaban yang diberikan oleh seorang hakim sebelum kepada masyarakat, bangsa dan negara terlebih dahulu ia harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun memang pada dasar manusia, ya tetap nakal juga.

Lalu bagaimanakah orang yang kita butuhkan? Apakah orang-orang yang kita inginkan benar-benar baik? Jika kita mencari yang berintegritas saja, niscaya kita semua memiliki. Tetapi kita tidak mencari figur yang jujur saja, tetapi punya keberanian, mau memberantas korupsi dan cerdas serta berani melawan kelaliman. Namun, orang-orang yang cerdas belum tentu mau memberantas korupsi, juga sebaliknya.

Seorang Michael Angelo pernah berkata, ”every act of creation must be started by the act of destruction”. Jika ingin berjuang melawan perubahan, maka bangsa kita membutuhkan seorang pemimpin, dimana dia bukan sekedar manejer biasa yang bekerja dengan sistim dan memelihara keseimbangan, tetapi dia adalah orang yang berani membongkar belenggu dan menanamkan nilai-nilai baru. Dan figur seperti ini cuma dapat dibaca dari rekam jejaknya. Sehingga cara yang efektif hanya dapat dilakukan lewat fit and proper test. Dan suka atau tidak ujian hanya dapat dilakukan pada tempat yang ’kotor’.

Pengalaman membuktikan bahwa, di dunia ini tidak mudah mencari “orang baik”. Selalu ada kontradiksi, antara pemimpin “kuat” (tetapi menyakitkan), dan pemimpin “baik” (tetapi tidak menyumbang keuntungan). Hal demikian juga terjadi dalam mencari sosok berintegritas dalam menegakan hukum demi keadilan. Mitos “orang baik” menjadi perdebatan panjang. Namun seolah dengan membuang yang disangka jahat (koruptor), pasti didapat orang baik (anti korupsi). Oleh karena itu, sosok yang dibutuhkan adalah benar-benar berintegritas dan total mendedikasikan dirinya untuk memberantas kebobrokan. Semoga.

Pernah dimuat di Surat Kabar Harian Timor Expres Edisi Sabtu, 4 Oktober 2008*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Berita Acara Serah Terima Tanah yang Benar

Contoh Makalah Terstruktur CAlon Anggota KPUD Kabupaten/Kota

PENGAMBILAN SUMPAH DAN PELANTIKAN KEPALA DUSUN TERPILIH DESA WAIULA