ANCAMAN GOLPUT DALAM PILKADA

 

ANCAMAN GOLPUT DALAM PILKADA*


Oleh: Antonius Dopi Liwu

Mahasiswa Fakultas Hukum UNWIRA Kupang angkatan ‘03

 

Pada penghujung tahun 2007 dan awal tahun tikus 2008 ini berita hangat seputar hajatan politik terus menghiasi media informasi negeri ini. Dari Maluku diberitakan proses pilkada dengan menyisakan permasalahan yang belum kunjung usai hingga ke Mahkamah Konstitusi. Sementara itu dari Sumatera Utara pada awal tahun inipun mengahadirkan proses politik yang tak kalah menarik. Yang tak kalah menarik juga  adalah pilkada Jawa Barat, dimana bertambahnya deretan para artis (Dede Yusuf) yang menduduki posisi penting dalam arena politik tanah air, pun menjadi hal yang menarik.

Namun hal tersebut bukan menjadi sorotan dalam tulisan ini. Tetapi menarik untuk dicermati dari sisi lain. Hal lain dimaksud di sini, adalah persoalan dalam proses politik terkait dengan Pilkada, bahwa di tempat dan belahan dunia manapun termasuk NTT yang tinggal hitungan hari, adalah setali tiga uang sebab merupakan persoalan klasik dan tak terbantahkan. ’Kasus’ nyata pasangan Hade (mungkin) bisa menjadi barometer kemungkinan partisipasi pemilih dalam Pilkada NTT nanti.

 

 

Fenomena Hade

Pasangan Hade (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf) menang di 17 Kabupaten/ Kota di Jawa Barat. Dengan berakhirnya penghitungan suara, maka pasangan tersebut ditetapkan sebagai Gubernur terpilih Jawa Barat. Dari hasil penghitungan akhir KPU Jawa Barat, pasangan ini mengungguli lawan-lawannya dengan perolehan suara 40,50 % atas pasangan  Agum Gumelar – Nu’man Abdul Hakim dan Dani Setiawan – Sulandjana yang masing-masing memperoleh 34,55 % dan 24,95 % suara. Jumlah tersebut merupakan total perolehan dari Data Pemilih Tetap (DPT) di Jabar.

Berdasarkan daftar pemilih tetap, Pilkada di Jawa Barat pada 13 April 2008 diikuti oleh 27.933.295 pemilih, tetapi yang mencoblos hanya 18.802.665 pemilih (67,313%), sedangkan yang tidak memilih 9.130.594 pemilih (32,7%). Sementara itu surat suara yang rusak sebanyak 806.560 lembar (Kompas, 23 April 2008).

Jika dirunut maka, ada yang menarik dari hasil Pilkada tersebut. Terlepas dari pro dan kontra perolehan suara oleh para pendukung masing-masing kubu, di sini penulis hanya ingin mengatakan bahwa, secara prosedural hasil Pilkada tersebut adalah demokratis, karena telah menghasilkan pemimpin yang dipilih oleh rakyat, hal mana sesuai dengan prinsip demokrasi. Namun yang menjadi persoalan adalah, secara substansial sejauhmana legitimasi sebuah kepemimpinan yang lahir di atas demokrasi yang dimenangkan (kursif penulis) oleh rezim ’Golput’?

 

Kemenangan Golput

            Wacana Golput dalam setiap hajatan politik terkait dengan Pemilu/ Pilkada di negara manapun adalah isu sentral yang turut menghiasi perjalanan demokrasi dan merupakan suatu keniscayaan. Kemenangan Golput selalu berbanding lurus dan bahkan berbanding terbalik dengan kemenangan pasangan calon. Di Amerika, negara yang menasbihkan diri (dan ditasbihkan) sebagai kampiun demokrasi sekalipun, kehadiran kelompok ini tidak dapat dielakan. Satu fakta yang sangat jelas tentang pemilihan di AS, adalah fenomena yang menyebar luas dari orang-orang yang tidak memberikan suara. Pemungutan suara di Amerika adalah sukarela, bukan kewajian hukum seperti halnya di beberapa negara. Dan hal ini harus dimaklumi karena memberikan suara pada pemilu adalah bagian dari penggunaan hak (politik). Oleh karena memberikan suara adalah hak, maka dia dapat dipergunakan (baca: memberikan suara) dan sebaliknya.

Lain halnya dengan pemungutan suara di Australia. Setiap pemilih yang memenuhi syarat secara konstitusional berhak dan wajib hukumnya untuk memberikan suara. Tidak memberikan suara pada Pemilu/ Pilkada merupakan pidana yang dapat dikenakan sanksi denda sebesar $ 500 Australia.

Selanjutnya, masih kasus AS, bahkan untuk pemilihan presiden sangat jelas terlihat, pemberi suara yang muncul berkisar dalam angka 50%. Artinya, setengah penuh dari penduduk yang memenuhi syarat untuk memberikan suara (hampir semua penduduk berusia di atas 17 tahun) tidak memilih. Satu contoh kasus, ketika Presiden Bill Clinton terpilih kembali lagi pada tahun 1996 dengan perolehan 49 % dari total rakyat yang berhak memberikan suara, ia adalah pilihan dari seperempat elektoral yang memenuhi syarat.

Melihat fenomena Golput yang begitu besar, maka kualitas demokrasi perlu dipertanyakan. Karena setiap momen seperti ini sebenarnya secara kuantitas, ’kemenangan’ Golput lebih signifikan ketimbang kemenangan mutlak dari pasangan calon, sehingga akan mempengaruhi kualitas demokrasi. Tetapi apapun hasilnya proses demokrasi telah dilalui.

Tengok saja hasil Pemilu 2004, kelompok Golput menjadi ’pemenangnya’ mengalahkan perolehan suara partai pemenang pemilu. Jumlah pendukung Golput pada Pemilu 2004 adalah tidak kurang dari 34.509.246 suara. Mereka terdiri dari pemilih terdaftar yang tidak datang dan suara tidak sah (Kompas, 18 April 2008). Sehingga secara agregat, legitimasi kepemimpinan sekarang ini (SBY-JK) bisa dapat dikatakan sebaliknya sebagai kemenangan demokrasi a la Golput.

Kembali kepada kasus Pilkada Jabar, kemenangan pasangan Hade bisa menjadi barometer untuk mengukur konfigurasi dan kualitas politik ke depan, serta memprediksi potensi pemilih potensial yang tidak memberikan suara dan mengukur kualitas demokrasi di daerah kita yang tinggal hitungan hari.

Berdasarkan kalkulasi kacau yang dibuat oleh penulis atas hasil Pilkada Jabar, dari 27.933.295 pemilih, yang mencoblos hanya 18.802.665 pemilih (67,313%), sedangkan yang tidak memilih 9.130.594 pemilih (32,7%). Sementara surat suara yang rusak sebanyak  806.560 lembar. Ini artinya bahwa pemilih yang positip memberikan suaranya pada pilkada Jawa Barat tanpa ’cacat’ adalah sebanyak 17.996.105 pemilih.

Jika dibuat estimasi kasar total penduduk Jawa Barat dua kali dari jumlah seluruh pemilih, maka ada sekitar 55.866.590 penduduk. Dari jumlah ini, penduduk Jawa Barat yang memberikan suara pada pilkada Jawa Barat adalah 18.802.665 dari total daftar pemilih tetap. Jika dikurangi lagi dengan surat suara yang rusak sebanyak 806.560 lembar, maka total penduduk yang memilih pemimpinnnya adalah CUMA 17.996.105 pemilih. Sebuah angka yang sangat ironis dan menggelikan untuk mengukur kualitas suatu demokrasi, sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dari jumlah tersebut saja kita dapat membayangkan bahwa ternyata ada sekitar 37.870.485 yang tidak memilih dan/atau kehilangan hak pilihnya – termasuk anak-anak dengan mengedepankan teori kontrak sosial-nya John Locke. Angka ini belum terhitung penduduk yang sangat mungkin tidak terakomodir dalam Pilkada, karena tidak terdaftar sebagai penduduk pada wilayah hukum tersebut yang disebabkan oleh berbagai faktor.

Jika perolehan suara para calon tersebut dibuat pembagian berdasarkan persentase perolehan suara dari 17.996.105 pemilih, maka kita akan memperoleh jumlah pemilih dengan distribusi suara bagi masing-masing pasangan calon adalah sebagai berikut, pasangan Ahmad Heryawan – Dede Yusuf memperoleh suara 7.288.422,525 suara, pasangan Agum Gumelar – Nu’man Abdul Hakim memperoleh suara sebesar 6.217.654,2775 dan pasangan Dani Setiawan – Sulandjana memperoleh dukungan sebesar 4.490.028,1975 suara.

Dari sini kita dapat mengukur keunggulan pasangan Hade, bahwa kemenangan yang membawa mereka ke kursi kepemimpinan merupakan kekuasaan yang legitimate, ’meski’ hanya didukung oleh 7.288.423 pemilih, dari total penduduk Jawa Barat yang berjumlah 55.866.590 (sekali lagi, jumlah ini hanyalah hitungan kasar saja). Atau dikatakan sebaliknya bahwa mereka bukan pemimpin pilihan 48.578.167 pemilih Jawa Barat. Tetapi, sekali lagi kita harus menghormati proses demokrasi yang telah terbangun. Namun di satu sisi kita patut mempertanyakan apakah dengan jumlah dukungan tersebut kita lantas mengatakan bahwa pemimpin yang terpilih merupakan pilihan mayoritas konstituen. Jawabannya bisa ya dan bisa tidak.

Lantas apakah ada yang salah dengan demokrasi?

Ambiguity Demokrasi

            Keberadaan Golput selalu berjalan linear dalam lingkungan yang mengagung-agungkan demokrasi sebagai sokoguru. Sadar atau tidak golput akan terus ada dan tumbuh subur ’hanya’ di alam demokrasi yang memberikan kebebasan sebagai salah satu hak dasar warga negaranya. Dan suka atau tidak eksistensi kelompok ini tetap langgeng selama tidak ada aturan yang mengatur perilaku pemilih yang boleh dikatakan sebagai ’oposan’ politik ini. Kehadiran kelompok ini memiliki motivasi yang beragam dan mayoritas lahir dari kelompok kritis yang sadar dan pesimis dengan kondisi kebangsaan yang sedang terjadi.

Menurut D. Grier Stephenson, Jr seorang Profesor bidang Pemerintahan Pada Franklin & Marshal College, bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab kecendrungan orang tidak memberikan suara alias Golput di antaranya adalah berkurangnya rasa kewajiban sipil dan kemasyarakatan, apatisme pemberi suara yang berbibit dari pandangan bahwa pemilihan umum tidak membuat perbedaan dalam hidup seseorang, dan meningkatnya persentase rumah-rumah tangga dengan dua pencari nafkah yang mungkin menyusutkan jumlah pemberi suara, juga tak adanya isu-isu besar yang dipertaruhkan dalam pemilihan nasional terakhir dalam masa kemakmuran yang damai.

Namum ada faktor yang lebih mendekati kebenaran kalau tidak benar sama sekali, adalah kejenuhan masyarakat dengan janji-janji para calon yang sangat sulit dibuktikan. Karena pemerintahan yang akan hadir pasca pemilihan cendrung oligarki, serta penyakit birokrasi yang akut (KKN) tidak terjamah dan berbagai persoalan kebangsaan maupun daerah yang tak terselesaikan.

Meski demokrasi merupakan model pemerintahan modern yang paling baik, tetapi bukanlah merupakan satu-satunya pemerintahan yang terbaik. Demokrasi menjamin kebebasan tetapi dalam alam demokrasi akan melahirkan fenomena yang mencederai demokrasi atas nama demokrasi sendiri. Dan hadirnya kelompok Golput atas dasar kebebasan sebagai spirit demokrasi jelas sangat mempengaruhi kualitas dan konstelasi demokrasi. Di sini jelas terlihat bahwa demokrasi juga berwajah dua karena tidak mampu menjinakkan dan meminimalisir, bahkan menghilangkan kelompok seperti ini.

Menyikapi kondisi ini maka, dari demokrasi sendiri sejatinya harus lahir strategi untuk meredam kelompok semacam ini dengan gaya yang demokratis juga. Tingkatkan peran parpol sebagai media pendidikan poltik, dengan demikian maka akan muncul kesadaran mayarakat untuk berpartisipasi dalam hajatan demokrasi. Mengatur perilaku rakyat dalam memberikan suara saat pemilu/pilkada dalam suatu regulasi (undang-undang) yang mempunyai daya represif dan koersif (mungkin) merupakan sebuah langkah alternatif. Dan ini yang tak kalah penting, adalah isu besar harus dimainkan oleh para kandidat yang mampu menjawab kebutuhan rakyat. Dengan langkah-langkah ini, niscaya kualitas demokrasi dan legitimasi kepemimpinan merupakan pilihan mayoritas konstituen lewat mekanisme demokrasi yang demokratis.

Dengan demikian, bentuk pemerintahan tersebut akan lahir dengan persyaratan bahwa, pemerintah yang berkuasa tersebut bergantung dari kesepakatan (mayoritas) warga negaranya. Sehingga dari sini kita harus sepakat, bahwa hasil akhir dari sebuah makna pemilu/ pilkada adalah seleksi pejabat-pejabat yang bertindak atas nama rakyat, lewat pilihan mayoritas (majoritarian democracy), dan bukan merupakan legitimasi seperempat dari total/ keseluruhan rakyat.

Maka dari itu memberikan suara pada proses pilkada meski merupakan bagian dari penggunaan hak, tetapi menentukan pemimpin yang akan melayani dan membaktikan diri dalam pembangunan daerah lewat partisipasi kita sebagai warga daerah ini dengan memberikan suara adalah jauh lebih penting, karena anda telah terlibat dan berpartisipasi dalam demokrasi dengan menggunakan hak politik anda. Karena lima menit keputusan anda akan menetukan nasib daerah ini lima tahun ke depan. (che)

* Pernah dimuat di Harian Timor Expres Kupang, Hari Kamis 12 Juni 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Berita Acara Serah Terima Tanah yang Benar

Contoh Makalah Terstruktur CAlon Anggota KPUD Kabupaten/Kota

PENGAMBILAN SUMPAH DAN PELANTIKAN KEPALA DUSUN TERPILIH DESA WAIULA